SEJARAH BANTEN
Rabu, 12 Maret 2014
SEJARAH BANTEN: MELURUSKAN SEJARAH BANTEN
SEJARAH BANTEN: MELURUSKAN SEJARAH BANTEN: Para pembaca mungkin tidak asing lagi jika mendengar nama Banten. Banten yang selalu diidentkikan dengan daerahnya para Jawara da...
MELURUSKAN SEJARAH BANTEN
Para
pembaca mungkin tidak asing lagi jika
mendengar nama Banten. Banten yang selalu diidentkikan dengan daerahnya
para Jawara dan Kiyai. Namun dibalik itu semua ada hal-hal yang perlu
diluruskan mengenai sejarah Banten, karena selama ini sejarah Banten ditulis
berdasarkan literatur-literatur produk VOC, yang tidak semuanya benar dan tidak
semuanya salah. Kompeni (VOC) sangat benci kepada kesultanan Banten, karena
sultan-sultan Banten mulai dari Sultan Maulana Hasanuddin sampai Sultan Agung
Tirtayasa sangat gigih menentang VOC, terutama Sultan Agung Tirtayasa. Adapun
yang perlu diluruskan adalah berikut :
- Syarif Hidayatullah, terdapat sejarah yang menyamakan antara beliau dengan Fatahillah
- Terdapat pula cerita yang menganggap Sultan Maulana Hasanudin adalah satu pribadi dengan Sultan Hasanudin yang berasal dari Makassar
- Anggapan bahwa pernah terjadi peperangan antara Sultan Agung Tirtayasa dengan Sultan Haji adalah hal yang salah
1.
Syarif
Hidayatullah (Pendiri Kesultanan Banten)
Bila ditelaah melalui nasab, sultan-sultan
Banten merupakan ketuturunan dari raja-raja besar yang ada di pulau Jawa dan
Timur Tengah. Karena pendiri Kesultanan Banten yaitu Syekh Sarif Hidayatullah atau biasa disebut dengan Sunan Gunung Jati merupakan cucu dari
Raja Besar Pajajaran yaitu Prabu Siliwangi (anak dari Ratu Rara Santang atau
Syarifah Muda’im) sedangkan ayah Sunan Gunung Jati adalah Sultan Mesir yang bernama Syarif
Abdullah. Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) seharusnya menggantikan
kedudukan ayahnya sebagai Sultan Mesir setelah ditinggal mangkat namun beliau
menyerahkan tugas tersebut kepada adiknya Syarif Nurullah, beliau lebih memilih
kembali ke pulau Jawa bersama ibundanya Ratu Rara Santang .
Hubungan
Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) dengan Sultan Demak sangat erat terutama pada zaman sultan Demak I yaitu Raden Fattah atau Sultan Alfattah ‘Alamul Akbar. Raden Fattah adalah putra dari Prabu Brawijaya V Majapahit dari istri
yang bernama Dewi Kian (seorang
wanita China yang beragama Islam). Raden Fattah juga merupakan salah satu murid
dan menantu dari Sunan Ampel karena
menikahi Dewi Murthasimah putri Sunan Ampel.
Kedekatan
Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati dengan Raden Fattah tidak hanya sebagai sesama
anggota Dewan Wali 9 saja, tetapi Syarif Hidayatullah merupakan Penasehat
Strategi Perang Kesultanan Demak, selain
itu beliau juga menjadi besan sultan-sultan Demak.
- 1. Pangeran Jaya Kelana (putra sunan Gunung Jati) menikah dengan Ratu Pembayun Putri Raden Fattah (Sultan Demak I)
- 2. Pangeran Brata Kelana (putra Sunan G. Jati) menikah dengan Ratu Nyawa putri Raden Fattah (Sultan Demak I)
- 3. Rayu Ayu (putri Sunan G. Jati) menikah dengan Muhammad Yunus / Pangeran Sebrang Lor (sultan Demak II ) Putra Raden Fattah (Sultan Demak I)
- 4. Sultan Maulana Hasanudin (Putra Sunan G. Jati) menikah dengan Ratu Ayu Fatimah Kirana putri Sultan Trenggono (Sultan Demak III).
Sepeninggalnya
Pangeran Jaya Kelana (putra Sunan G. Jati) dan Muhammad Yunus (putra Raden
Fattah), Ratu Ayu Pembayun (janda
Pangeran Jaya Kelana) dan Ratu Ayu (Janda Muhammad Yunus) dinikahi oleh
Fatahillah. Fatahillah ialah pemuda
berasal dari Pasai putra dari Syekh Mahdar Ibrahim yang ikut ke pulau Jawa
bersama Syarif Hidayatullah ketika beliau mampir ke Pasai saat perjalanan
pulang dari Mesir menuju Jawa Barat dan dijadikan sebagai murid sekaligus
sebagai anak angkatnya.
Sejarah
berdirinya Kesultanan Banten tidak bisa lepas dari Kesultanan Demak, karena
kesultanan Banten awalnya merupakan perwalian dari Kesultanan Demak.
Banten
semula hanya sebuah kadipaten di bawah kekuasaan kerajaan Pajajaran. Seiring
berkembang pesatnya penganut ajaran
Islam di Jawa Barat, Prabu Surawisesa
(Raja Pajajaran) eksistensinya terancam. Maka Kerajaan Pajajaran meminta
bantuan dan bekerja sama dengan VOC. Kesepakatan kerja sama antara Kerajaan Pajajaran dengan VOC ini membuat
Sultan Demak (Sultan Trenggono)
menjadi marah. Sehingga dikirimlah pasukan perang Demak dan Cirebon untuk
menyerang Kerajaan Pajajaran yang dipimpin oleh Fatahillah, Adipati Keling, Pangeran Cangkuang, dan Pangeran Cirebon.
Atas petunjuk Sunan Gunung Jati maka Pasukan Demak dan Cirebon menuju Banten
untuk bergabung dengan pasukan pribumi yang dipimpin oleh Hasanuddin merebut
Banten dari Pajajaran. Maka setelah Banten dan Sunda Kelapa dikuasai,
Hasanuddin ditetapkan sebagai Adipati Banten dan Fatahillah menjadi Adipati
Jayakarta, keduanya memimpin atas nama kesultanan Demak. Setelah Hasanuddin
menikah dengan putri Sultan Trenggono (Sultan Demak III), status Banten menjadi
kesultanan, sedangkan Fatahillah
menggantikan Syarif Hidayatullah untuk memimpin Kerajaan Cirebon, dan Jayakarta
diserahkan kepada menantu Sultan Hasanudin yaitu Tubagus Angke.
Sultan
Maulana Hasanuddin ialah Putra Sunan Gunung Jati ( Syarif Hidayatullah) dari
pernikahannya dengan Ratu Kawunganten. Ratu Kawunganten ialah Putri dari
Adipati Banten. Adapun Banten melepaskan diri dari kekuasaan Demak pada masa
terjadi perebutan kekuasaan Demak oleh Aryo
Panangsang.
Adapun
Sultan-Sultan Banten yang berkuasa di Banten adalah Berikut :
- Sultan Maulana Hasanuddin
- Sultan Maulana Yusuf
- Sultan Maulana Muhamad Nasrudin (Pangerang Seda ing Palembang)
- Sultan Abul Mufakhir Mahmud Abdul Kadir (Abul Mufakhir
- Sultan Abul Ma’ali Ahmad Rahmatullah ( Pangeran Fakih)
- Sultan Abul Fath Abdul Fattah (Pangeran Surya)
- Syekh Maulana Mansuruddin (Pangeran Abdul Kohhar)
- Adapun sultan-sultan selanjutnya hanya punya tahta tapi tidak punya kekuasaan, semuanya diatur oleh VOC, Sultan digaji oleh VOC.
Sultan
Agung Tirtayasa merupakan Sultan Banten yang ke-6, nama aslinya adalah pangeran Surya. Beliau menggantikan kakeknya
Sultan Abul Mufakhir, karena ayahnya sultan Abul Ma’ali sebagai Sultan Muda
(baru dinobatkan sebagai putra mahkota) meninggal terlebih dahulu sebelum
dinobatkan sebagai sultan Banten, sehingga penerus tahta kesultanan langsung ke
pada putranya Pangeran Surya.
Sultan
Agung Tirtayasa tidak hanya sebagai sultan saja, namun beliau juga seorang
ulama yang hafid Qur’an. Pada masa Sultan Agung tirtayasa inilah Banten
mencapai puncak kejayaan. Sultan Agung
tidak kenal kompromi dengan VOC, beliau bersedia mengadakan kerja sama
jika menguntungkan rakyat Banten, bila tidak, beliau lebih memilih perang.
Karena itu VOC sangat benci pada Sultan Agung
sehingga dengan berbagai upaya dilakukan untuk menghancurkan
Banten.
Sudah
menjadi kebiasaan sejak Sultan Abul
Mufakhir setiap kali akan menobatkan putranya menjadi putra mahkota, beliau
akan mengirimkan mereka terlebih dahulu ke Mekah untuk memperdalam ilmu agama. Kebiasaan
tersebut dilanjutkan oleh Sultan Agung yang juga mengirim putranya Sultan
Abdul Kohhar ke Mekkah untuk pergi haji dan memperdalam ilmu-ilmu agama.
Sebelum Sultan Abdul Kohhar berangkat ke Mekkah Sultan Agung mengangkat Pangeran Purbaya untuk menggantikan
Sultan abdul Kohhar memimpin Istana
Banten, sedangkan Sultan Agung menetap di istana Tirtayasa.
Saat
itulah VOC mulai mendekati para pembesar
istana, memberikan berbagai hadiah dan kemewahan pada mereka serta menghasutnya
sehingga mereka tidak mentaati perintah
dari Pangeran Purbaya. Melihat perilaku para pembesar istana yang hidupnya
senang berfoya-foya, mabuk-mabukan bersama VOC, dan gaya hidup yang cenderung
sama dengan mereka,maka Pangeran Purbaya akhirnya pulang ke Tirtayasa dan
mengadukannya pada Sultan Agung. Setelah
mengetahui hal tersebut maka Sultan Agung menjadi murka, akan tetapi merekapun
berani menentang Sultan Agung karena mereka dilindungi oleh VOC, dan siap
perang melawan Sultan Agung.
Perangpun tak bisa dihindari antara pasukan
Sultan Agung yang dibantu oleh orang-orang Bugis dengan pasukan istana Banten yang dibantu VOC.
Orang-orang Bugis yang membantu pasukan Sultan Agung ialah orang-orang yang
datang bersama syekh Yusuf. Syekh Yusuf ialah ulama asal Makasar penasihat
Sultan Hasanuddin Makasar. Sultan Hasanuddin dihukum mati oleh kompeni
sedangkan syekh Yusuf dibuang ke Afrika. Pulang dari Afrika bergabung dengan
Sultan Agung Tirtayasa. Dan Syekh Yusuf pun dijadikan sebagai penasihat Sultan
Agung dan akhirnya dijadikan menantu menikah dengan Ratu Ayu Dahlia.
Sebelum
berangkat ke Banten Sultan Agung berkata “Saya
bukan memerangi anakku, tapi yang aku perangi ialah orang-orang kafir”, karena
memang Sultan Abdul Kohhar tidak ada,sedang menunaikan ibadah haji, maka orang
menyebutnya Sultan haji.
Perang
saudara tersebut terjadi cukup lama sampai akhirnya pasukan Sultan Agung
terdesak, Namun sebelum pergi, istana yang ada di Tirtayasa dibakar atas
perintah Sultan Agung. “Saya tidak rido
istanaku ditempati oleh orang-orang kafir”, Kata Sultan Agung.
Singkat cerita Sultan Agung dan Syekh Yusup
pun tertangkap dan akhirnya meninggal dipenjara. Sultan Agung dikuburkan di
Tirtayasa dan Syekh Yusuf dimakamkan di Sambilawang Tersaba-Tanara-Serang.
Dari
uraian di atas jelaslah bahwa :
1.
Raden Fattah, Syarif Hidayatullah, dan Fatahillah
adalah 3 orang yang berbeda. Karena selama ini ada anggapan bahwa mereka adalah
satu orang, bahkan ada yang menganggap bahwa Syarif Hidayatullah itu
Fatahillah. Untuk membuktikannya silahkan pembaca datang ke komplek pemakaman
Sunan Gunung Jati di Cirebon dan komplek Pemakaman Raden Fattah di Demak.
2.
Sultan Hasanuddin Banten dan Sultan Hasanuddin di
Makassar ialah 2 orang yang berbeda. Sultan Hasanuddin Banten ialah sultan ke-1
di Banten putra dari Syekh Syarif Hidayatullah. Sedangkan Sultan Hasanuddin
Makassar (nama lahir : I Mallombasi Muhammad Bakir Daeng Mattawang
Karaeng Bonto Mangepe) ialah sultan Goa ke-16 putra dari Sultan Malikussaid. Sultan Hasanuddin
Makassar hidup semasa Sultan Agung Tirtayasa. Sedangkan Sultan Agung Tirtayasa
ialah Sultan ke-6 di Banten.
Hanya kebetulan ada 2 nama yang
sama, Sultan Hasanuddin Banten punya anak Sultan Maulana Yusuf. Dan Perjuangan Sultan
Hasanuddin Makasar diteruskan oleh syekh Yusuf.
3.
Sultan Haji tidak pernah perang dengan ayahnya Sultan
Agung Tirtayasa. Karena Sultan Haji adalah seorang ulama besar yang disebut
Syekh Maulana Mansuruddin (gelar
dari Mekkah). Beliau wafat dan dimakamkan di Cikaduen,Labuan Pandeglang Banten.
Coba
kita pikirkan bersama bagaimana mungkin seorang ulama besar sekaliber Syekh
Mansuruddin berperang melawan ayahandanya Sultan Agung Tirtayasa.
Langganan:
Postingan (Atom)